Tamu Alpha - Book cover

Tamu Alpha

Michelle Torlot

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Georgie telah menghabiskan masa hidupnya di kota pertambangan batu bara, tetapi baru setelah orang tuanya meninggal di depan matanya, dia menyadari betapa kejam dunianya. Tepat ketika dia berpikir bahwa tidak akan ada hal yang lebih buruk, remaja 18 tahun itu tersandung masuk ke wilayah kawanan manusia serigala penyendiri, yang dikabarkan merupakan pemilik tambang. Terlebih lagi, alpha mereka tidak terlalu senang melihatnya…pada awalnya!

Lebih banyak

Hope Springs

GEORGIE

Perlahan, aku bangkit dari tanah berlumpur tempat aku terjatuh. Aku meringis saat rasa sakit menjalari tubuhku.

"Jika aku melihatmu di dekat sini lagi, Georgie Mackenzie, kami tidak akan bersikap ramah kepadamu," geram pria itu menyeringai.

Dia meludahkan dahak yang berhasil aku hindari. Kemudian dia membanting pintu dari tempat yang telah menjadi lubang neraka pribadiku.

Lubang hidungku melebar saat aku terengah-engah mengatur napas. Sebagian akibat kemarahan, sebagian akibat rasa sakit.

"Dasar bajingan sialan!" aku berteriak.

Aku tahu dia mendengarku ketika gagang pintu mulai berputar. Aku bergegas pergi secepat mungkin. Aku tidak mengira tubuhku sanggup menerima pukulan lagi, tidak malam ini.

Aku tertatih-tatih menyusuri jalan yang sepi, bajuku yang tipis basah kuyup dan berlumuran lumpur basah. Aku menggigil dan mencoba menghilangkan rasa sakit itu; aku akan mengalami memar, dan lebih banyak lagi.

Aku hanya ingin mencari makanan, mengubrak-abrik tong sampah di belakang kantor tambang. Sayangnya, aku dicegat oleh tim keamanan. Itu hanya sampah, tapi itu adalah sampah mereka.

Aku pernah ditangkap sebelumnya, tetapi tidak pernah dipukuli seburuk ini. Aku mengangkat ujung bajuku, memeriksa luka di sekujur tubuhku.

Memar sudah mulai terbentuk di perut dan tulang rusukku. Aku rasa punggungku akan berada dalam kondisi yang hampir sama.

Aku kembali ke ujung kota, ke gedung terlantar tempat aku dan ibuku menjadi penghuni liar saat ini.

Kami menemukan tempat itu beberapa malam yang lalu setelah pindah dari tempat sebelumnya. Gedung itu terbengkalai.

Hanya ada sisa-sisa penduduk sebelumnya yang telah pindah atau meninggal.

Aku meninggalkan Ibu beristirahat di kasur tua sebelumnya di hari itu. Aku telah menggadaikan harta terakhir kami beberapa hari sebelumnya, hanya demi mendapatkan obat untuknya.

Obat itu tidak akan menyembuhkannya atau berpengaruh apa pun, tetapi mampu menghilangkan beberapa gejala penyakitnya. Tanpa uang tersisa, aku berharap dapat menemukan makanan di tempat sampah.

Namun, yang kutemukan hanyalah si bajingan Maddox dan tongkat bisbolnya.

Begitu aku sampai di rumah, aku menyingkirkan panel besi tua bergelombang yang sebelumnya diletakkan di sana untuk mencegah penghuni liar masuk.

Penghalang itu tidak bekerja dengan baik.

Saat berjalan ke dalam rumah, aku menuju ruang belakang, ruangan paling kering di rumah. Aku menyeret kasur tua dari lantai atas agar Ibu bisa berbaring. Kasur itu jauh lebih baik dari lantai dingin, bagaimanapun juga.

Ketika berjalan ke ruang belakang, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu terlalu tenang. Ibu hanya berbaring di sana, matanya terbuka, menatap langit-langit.

Isak tangis keluar dari bibirku saat air mata mengalir di wajahku.

Aku tahu waktunya sudah tidak lama, tapi aku benar-benar masih belum siap. Dengan lembut, aku mengusapkan tanganku ke matanya, menutupnya. Setidaknya dia damai sekarang.

Aku segera menghapus air mataku, meninggalkan noda kotoran di wajahku dari jalan berlumpur yang telah aku lalui. Hanya noda itu yang tidak terlalu aku khawatirkan.

Aku tidak punya uang atau makanan, aku hanya punya pakaian yang sedang aku kenakan. Tidak ada yang tersisa untuk aku di sini.

Aku meninggalkan rumah tanpa tujuan. Aku hanya tahu aku harus segera pergi, keluar rumah, keluar kota; aku yakin pasti ada yang lebih baik dari tempat ini.

Sebuah tempat di mana orang lebih peduli satu sama lain dan tidak selalu memikirkan keuntungan. Setidaknya, aku bisa bermimpi bahwa ada tempat seperti itu.

Aku memutar mataku saat melewati tanda yang bertuliskan Selamat datang di Hope Springs. Lebih seperti Hope Less!

Hope Springs adalah kota baru yang dibangun di belakang tambang batu bara. Begitu pemilik tanah menyadari bahwa mereka membutuhkan tenaga kerja untuk menambangnya, kota itu muncul.

Orang-orang berdatangan untuk bekerja di tambang. Lapangan pekerjaan sangat langka di mana-mana. Jadi, gagasan tentang pekerjaan baru, kota baru, dan rumah baru membawa banyak harapan.

Komunitas ideal yang ternyata tidak begitu ideal.

Pemilik tanah dan pemilik tambang tidak pernah datang. Tim manajemen menangani semuanya. Pemiliknya pasti senang dengan keuntungan yang mereka dapatkan.

Aku sering bertanya-tanya, apakah mereka sadar bahwa keuntungan itu datang dengan mengorbankan para penambang dan keluarga mereka?

Tentu saja mereka sadar. Semua orang tahu siapa pemiliknya.

Sama seperti semua pemilik bisnis besar lainnya di sekitar sini. Manusia serigala, makhluk legendaris. Hanya saja mereka tidak begitu.

Mereka juga tidak hanya berlarian di hutan. Tentu mereka tertutup, tapi mereka pintar. Mitra tersembunyi di semua bisnis besar, sementara mereka meraup keuntungan.

Ini memungkinkan mereka untuk menjalani kehidupan mewah yang jauh dari pengawasan. Bagi mereka, manusia adalah sumber daya. Hanya untuk sekali pakai. Tidak masalah berapa banyak dari kami yang mati; akan selalu ada lebih banyak orang untuk mengisi kekosongan.

Para penambang dibayar murah. Setelah membayar sewa rumah, sisa upah mereka hampir tidak cukup untuk memberi makan keluarga mereka.

Setiap kali mereka mengeluh, mereka dipecat. Tidak punya pekerjaan, tidak punya rumah. Sementara itu, manusia serigala semakin kaya.

Ketika para penambang mulai jatuh sakit, keluarga mereka diusir begitu saja, dan orang lain datang untuk menggantikan mereka.

Tidak ada yang gratis di Hope Springs, dan karena para penambang hanya memiliki sedikit uang simpanan, itu berarti sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan perawatan kesehatan atau pendidikan.

Mereka menyediakan sekolah gratis untuk anak-anak sampai usia 13 tahun. Setelah itu, keluarga mereka harus membayar. Tanpa pendidikan, satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan anak-anak mereka adalah bekerja di tambang.

Ketika Ayah sakit, Ibu mulai bekerja di sana supaya kami bisa membayar sewa rumah.

Aku mencoba mendapatkan pekerjaan di sana ketika berusia 14 tahun, tepat setelah ayahku meninggal, tetapi mereka tidak mau menerimaku; mereka tidak memperbolehkan anak-anak bekerja di sana.

Setahun kemudian, Ibu jatuh sakit. Kemudian, kami tidak punya penghasilan dan tidak bisa membayar sewa, lalu kami diusir.

Pada tahun terakhir, kami tinggal di mana pun kami bisa. Menggadaikan barang-barang hanya untuk mendapatkan makanan dan obat-obatan. Beberapa minggu terakhir, aku telah mengemis dan mengais sampah hanya untuk mencoba bertahan hidup.

Aku memasukkan tanganku ke dalam saku, berusaha agar tubuhku tetap hangat; kakiku basah dan dingin karena lubang di sepatuku. Aku mungkin harus mencari tempat penampungan lain. Hujan mulai turun lagi.

Aku benar-benar tidak peduli.

Aku hanya menundukkan kepalaku dan berjalan.

Dengan pikiran yang melayang-layang, aku tidak menyadari bahwa aku telah mengembara dari jalan dan masuk ke hutan. Sebuah cabang tersangkut di wajahku, membuatku mendongak. Setetes darah mengalir di pipiku. Aku mengabaikannya.

Mengintip ke dalam kegelapan, aku mengerutkan kening. Ada lampu di tengah hutan! Mungkin saja itu kabin berburu, yang berarti kesempatan untuk menemukan makanan atau gudang kosong untuk tidur, hanya untuk malam itu.

Aku melewati tanda yang bertuliskan Dilarang Masuk—Properti Pribadi. Aku mengabaikannya. Ketika semakin dekat, aku menyadari bahwa itu bukan hanya satu kabin, tetapi sebuah rumah besar dengan beberapa bangunan kecil yang tersebar di sekitarnya.

Tentu saja; semuanya masuk akal sekarang. Tanda bertuliskan ‘Dilarang Mendekat’, rumah besar. Semua ini ada di tengah hutan. Di sinilah para manusia serigala bajingan itu tinggal.

Seharusnya aku gugup, pikirku. Namun, aku tidak gugup sama sekali. Mungkin beberapa tahun yang lalu, aku akan menangisi keadaan hidupku, tetapi tidak sekarang. Aku tidak punya air mata lagi untuk menangis.

Jika para bajingan ini sekaya yang dipikirkan semua orang, mereka mungkin membuang banyak makanan.

Aku mengendap-endap di belakang rumah besar itu. Setelah menemukan beberapa tong sampah, aku mulai mencari-cari di dalam.

Meskipun hariku menyebalkan, aku tersenyum ketika menemukan sepotong roti. Roti itu agak basi, tapi masih bisa dimakan. Aku mengunyahnya dengan cepat, lalu menggali lebih dalam.

Aku begitu fokus pada tempat sampah sehingga tidak mendengar langkah kaki di belakangku.

Tidak sampai mereka meraih bagian belakang bajuku dan mengangkatku seperti anak kucing liar.

"Nah, sedang apa kau di sini, pencuri kecil!" dia menggeram.

"Persetan, lepaskan aku, dasar bajingan kotor!" aku berteriak

Lalu,aku berteriak, tubuhku masih sakit karena pukulan Maddox.

"Diam, pencuri!" dia menggeram lagi, "Aku hampir tidak menyentuhmu!"

Dia membawaku pergi dari rumah, menuju gedung lain.

Aku merintih; aku mencoba untuk meronta pada awalnya, tetapi tidak ada gunanya. Aku terluka parah. Akhirnya, aku menyerah begitu saja. Pria itu besar, dan aku tidak berpikir aku akan selamat dari pukulan lainnya.

Dia membawaku ke gedung lain. Saat mataku terbiasa dengan keremangan, aku menyadari bahwa itu adalah semacam fasilitas penahanan.

Jeruji besi memisahkan setiap bagian, dan dia membuka pintu jeruji besi lainnya dan melemparkan aku ke dalamnya.

Aku menggerutu saat mendarat di lantai beton.

"Alpha akan berurusan denganmu besok pagi!" dia menggeram.

Aku melompat menghampiri pintu jeruji yang baru saja dia banting hingga tertutup. Aku mencengkeram jeruji besi itu dan mencoba mengguncangnya. Perbuatan yang sia-sia.

"Persetan denganmu dan persetan dengan alpha-mu!" Aku berteriak.

Aku diabaikan dan aku tidak bisa melihat terlalu banyak hal selain kenyataan bahwa aku bukan satu-satunya yang ditahan di sini. Setiap sel dipisahkan oleh jeruji logam.

Kemudian, aku mendengar suara dari sel tahanan sebelahku.

“Diam kau, manusia lemah. Aku sedang mencoba tidur!"

Ini pasti semacam penjara manusia serigala. Aku melihat tempat tidur di belakang sel. Setidaknya, aku akan tidur di ranjang malam ini. Bahkan ada selimut.

“Persetan!” Aku menggeram sambil berjalan menuju tempat tidur.

Membungkus diri dalam selimut, aku meringkuk di tempat tidur. Selimutnya besar, dan seperti menenggelamkanku. Aku rasa selimut itu dirancang untuk manusia serigala, bukan manusia kecil.

Aku tidak terlalu besar untuk ukuran manusia, dan kekurangan makanan menghambat pertumbuhanku. Tidak pernah ada banyak makanan selama masa pertumbuhanku, hanya kebutuhan pokok. Mungkin itu yang menghambat pertumbuhanku.

Aku menggigil. Aku basah, kedinginan, dan lapar. Roti basi belum cukup untuk mengisi perutku. Tetap saja, memakan roti basi itu lebih baik daripada tidak makan sama sekali.

Aku memejamkan mata; kekurangan makanan dan kelelahan membuat mataku suntuk, dan aku akhirnya hanyut dalam tidur.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok